PULAU TERDEPAN INDONESIA YANG BERBATASAN DENGAN
NEGARA TETANGGA dan BERIKUT DENGAN PERJANJIAN BATAS WILAYAH NEGARA
1. Pulau Rondo Kelurahan Ujung Ba’u,
Kecamatan Sukakarya, Kabupaten Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam (di peta pulau
nomor 84).
berada di ujung utara Pulau Weh, merupakan
pulau terluar strategis di ujung barat Indonesia yang menjadi jalur pelayaran
internasional, berbatasan dengan India, tidak dihuni tetap dan hanya dihuni
oleh petugas jaga mercusuar. Kekayaan alam berupa perikanan dan terumbu karang,
rawan akan pencurian ikan (illegal fishing).
2. Pulau Sekatung, Desa Air Payang, Kelurahan
Pulau Laut, Kecamatan Bunguran Barat, Kabupaten Natuna, Provinsi Riau (di peta
pulau nomor 10).
Terletak di utara Kepulauan Natuna, masuk
Provinsi Kepulauan Riau yang berbatasan langsung dengan Vietnam, termasuk
gugusan Pulau Natuna selain Pulau Sedanau, Bunguran, dan Midai, luasnya sekitar
0,3 kilometer persegi. Tidak berpenghuni, sering digunakan sebagai persinggahan
nelayan lokal dan asing, potensi berupa perikanan dan terumbu karang, rawan
illegal fishing.
3. Pulau Nipa, Desa Pemping, Kecamatan
Belakang Padang, Kota Batam, Provinsi Riau (di peta pulau nomor 89).
Pulau kecil tak berpenghuni yang berbatasan
dengan Singapura, 80 persen merupakan batuan karang mati dan 20 persen batuan
berpasir. Luas dataran lonjong ini sekitar 60 hektar, di sekitar pulau ini
dijadikan penambangan pasir. Akibatnya, terjadi abrasi yang mengancam
tenggelamnya pulau di tengah pelayaran lalu lintas internasional yang
frekuensinya tinggi.
4. Pulau Berhala, Kecamatan Tanjungbintang,
Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara (di peta pulau nomor 85).
Berada di Selat Malaka yang berbatasan dengan
Malaysia, tak berpenghuni, luas sekitar 2,5 kilometer persegi dan
dikelilingi hamparan terumbu karang. Memiliki kekayaan alam berupa keindahan
terumbu karang bawah laut dan hutan tropis dengan keanekaragaman hayati tinggi,
rawan illegal fishing dan effective occupation dari negara tetangga.
5. Pulau Marore, Kecamatan Tabukan, Kabupaten
Sangihe, Sulawesi Utara (di peta pulau nomor 26).
Salah satu pulau kecil di Laut Sulawesi dan
berbatasan dengan Filipina. Berada di kepulauan berpenduduk sekitar 640 jiwa,
luas sekitar 214,49 ha, termasuk gugusan Pulau Kawio, merupakan wilayah khusus
di perbatasan Filipina yang disebut check point border crossing area, rawan
illegal fishing.
6. Pulau Miangas, Desa Miangas, Kecamatan
Nanusa, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara (di peta pulau nomor 28).
Salah satu gugusan Kepulauan Nanusa yang
berbatasan langsung dengan Filipina, luas sekitar 3,15 kilometer persegi. Jarak
Pulau Miangas dengan Kecamatan Nanusa sekitar 145 mil, sedangkan jarak ke
Filipina hanya 48 mil. Ada penduduknya yang mayoritas Suku Talaud, perkawinan
dengan warga Filipina tidak bisa dihindarkan lagi. Dilaporkan mata uang yang
mereka gunakan adalah peso, jumlah penduduk tahun 2003 sebanyak 678 jiwa, sudah
ada listrik dari PLTD 10 KVA. Belanda menguasai pulau ini sejak tahun 1677,
sejauh ini Filipina yang sejak tahun 1891 memasukkan Miangas dalam wilayahnya
sudah menerima Pulau Miangas sebagai wilayah Indonesia berdasarkan keputusan
Mahkamah Arbitrase Internasional. Rawan terorisme dan penyelundupan.
7. Pulau Marampit, Kecamatan Pulau Karatung,
Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara (di peta pulau nomor 29).
Salah satu pulau di Laut Sulawesi yang
berbatasan dengan Filipina, berpenghuni dengan jumlah penduduk sekitar 1.436
jiwa, luas pulau 12 kilometer persegi, pulau terluar yang dibatasi Samudra
Pasifik di sebelah utara dan timur. Sarana navigasi pelayaran dan dermaga
hingga kini belum terpasang, rawan abrasi karena berhadapan dengan laut lepas,
rawan illegal fishing dan effective occupation dari negara tetangga.
8. Pulau Batek, Desa Netemnanu Utara,
Kecamatan Amfoang Utara, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (di peta pulau
nomor 61).
Merupakan pulau terluar yang berbatasan
langsung dengan Timor Leste, berada di perbatasan antara wilayah Kabupaten
Kupang, NTT, dan Oekusi, Timor Leste, luas sekitar 25 ha. Menjadi tempat
bertelur penyu-penyu serta lokasi migrasi lumba-lumba. Untuk mencapainya cukup
mudah karena perairan di sebelah utaranya merupakan Alur Laut Kepulauan
Indonesia (ALKI) jalur 3 yang menjadi jalur pelayaran internasional, rawan
illegal fishing dan effective occupation dari negara tetangga.
9. Pulau Dana, Kecamatan Rote Barat Daya,
Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (di peta pulau nomor 62).
Terletak di sebelah selatan Pulau Rote yang
merupakan pulau terluar berbatasan dengan Australia. Letaknya strategis karena
menjadi pintu masuk jalur pelayaran internasional (ALKI jalur 3), tidak
berpenghuni, jarak dengan Kota Kupang 120 kilometer dan dengan Pulau Rote 4
kilometer. Untuk mencapainya bisa ditempuh dengan perahu motor, rawan illegal
fishing dan effective occupation dari negara tetangga.
10. Pulau Fani, Kecamatan Ayau, Kabupaten
Raja Ampat, Provinsi Papua (di peta pulau nomor 34).
Pulau terluar yang berbatasan dengan Republik
Palau, termasuk gugusan Pulau-pulau Asia. Ada penghuninya, luas wilayah sekitar
sembilan kilometer persegi. Jarak ke Kota Sorong 220 kilometer dan dapat
dicapai dengan kapal motor selama 35 jam. Penduduknya lebih sering berinteraksi
dengan negara tetangga, rawan illegal fishing dan effective occupation dari
negara tetangga.
11. Pulau Fanildo, Kecamatan Supiori Utara, Kabupaten
Biak Numfor, Papua (di peta pulau nomor 36).
Salah satu gugusan Pulau Mapia, pulau tak
berpenghuni yang berbatasan dengan Republik Palau, luas sekitar 0,1 kilometer
persegi yang sekelilingnya merupakan pantai berpasir dan hamparan terumbu
karang. Jarak dengan ibu kota Biak Numfor 280 kilometer. Untuk mencapai pulau
ini bisa dengan menggunakan pesawat udara dan kapal laut rute
Jakarta-Biak-Mapia, rawan illegal fishing dan effective occupation dari negara
tetangga.
12. Pulau Bras, Kecamatan Supiori Utara,
Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua (di peta pulau nomor 37).
Terletak di ujung utara Pulau-pulau Mapia,
berbatasan dengan Republik Palau, luasnya 3,375 kilometer persegi, jarak Pulau
Bras dengan Kabupaten Biak Numfor 280 kilometer dan dengan Pulau Supiori 240
kilometer yang dapat dicapai dengan perahu motor. Dihuni sekitar 50 jiwa
penduduk, potensial untuk wisata terumbu karang, mata pencaharian nelayan dan
membuat kopra, rawan abrasi dan rawan illegal fishing serta effective
occupation dari negara tetangga. (AMR)
PERJANJIAN ANTARA NEGARA
1. Indonesia-Malaysia
Kedua
belah pihak bersepakat (kecuali Sipadan dan Ligitan diberlakukan sebagai
keadaan status quo). Pada tanggal 27 Oktober 1969 dilakukan penandatanganan
perjanjian antara Indonesia dan Malaysia, yang disebut sebagai Perjanjian
Tapal Batas Kontinental Indonesia – Malaysia kedua negara masing-masing
melakukan ratifikasi pada 7 November 1969, tak lama berselang masih pada
tahun 1969 Malaysia membuat peta baru yang
memasukan pulau Sipadan, Ligitan dan Batu Puteh (Pedra blanca) tentunya hal
tersebut membingungkan Indonesia dan Singapura dan pada akhirnya Indonesia maupun
Singapura tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut.
Kemudian
pada tanggal 17 Maret 1970 kembali ditanda tangani Persetujuan
Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia. Akan tetapi pada tahun 1979 pihak Malaysia membuat peta baru
mengenai tapal batas kontinental dan maritime yang secara sepihak membuat
perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke dalam
wilayahnya yaitu dengan memajukan koordinat 4° 10' arah utara melewati Pulau
Sebatik. Indonesia memprotes
dan menyatakan tidak mengakui klaim itu, merujuk pada Perjanjian Tapal
Batas Kontinental Indonesia - Malaysia tahun 1969
dan Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia tahun 1970.
Indonesia
melihatnya sebagai usaha secara terus-menerus dari pihak Malaysia untuk melakukan ekspansi terhadap wilayah Indonesia. Kasus ini meningkat profilnya
setelah Pulau Sipadan dan Ligitan, juga berada di blok Ambalat, dinyatakan
sebagai bagian dari Malaysia oleh Mahkamah Internasional.
Batas
wilayah antara Indonesia dan Malaysia ditarik dari dekat Singapura dan
berakhir di dekat Pulau Batu Mandi di Selat Malaka. Artinya tidak ada batas
perairan yang berupa batas laut wilayah antara Malaysia dan Indonesia
setelah Pulau Batu Mandi ke arah Barat Laut di Selat Malaka. Yang ada hanyalah
batas landas kontinen yang ditetapkan pada tahun 1969. Batas landas kontinen,
sesuai dengan hukum laut internasional, merupakan batas yang memisahkan dasar
laut dua atau lebih negara. Batas landas kontinen tersebut tidak mengatur batas
tubuh air. Sehingga secara umum, batas landas kontinen ini berlaku dalam hal
pengelolaan lapisan di bawah laut (dasar laut) yang biasanya digunakan untuk
pertambangan lepas pantai (off shore).
Masalah yang sering terjadi :
Penentuan
batas maritim Indonesia-Malaysia di beberapa bagian wilayah perairan
Selat Malaka masih belum disepakati ke dua negara. Ketidakjelasan batas maritim
tersebut sering menimbulkan friksi di lapangan antara petugas lapangan dan
nelayan Indonesia dengan pihak Malaysia.
Demikian
pula dengan perbatasan darat di Kalimantan, beberapa titik batas belum tuntas
disepakati oleh kedua belah pihak. Permasalahan lain antar kedua negara adalah
masalah pelintas batas, penebangan kayu ilegal, dan penyelundupan. Forum
General Border Committee (GBC) dan Joint Indonesia Malaysia Boundary
Committee (JIMBC), merupakan badan formal bilateral dalam menyelesaikan masalah
perbatasan kedua negara yang dapat dioptimalkan.
2. Indonesia-Singapura
Batas
wilayah laut antara Indonesia dan Singapura ditentukan atas dasar hukum
internasional. Perjanjian ini didasari atas Konvensi PBB Tentang batas wilayah
laut (The United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) pada 1982.
Kedua negara juga turut meratifikasi UNCLOS. Ratifikasi dari batas wilayah laut
yang disetujui ini merupakan kelanjutan dari perjanjian batas wilayah laut yang
sebelumnya telah disetujui oleh kedua negara sebelumnya pada 25 Mei 1973.
Sementara perjanjian terbaru yang diratifikasi, mempertegas batas wilayah laut
dari Pulau Nipa hingga Pulau Karimun Besar. Sedangkan pada sebelah barat, pihak
keamanan dan petugas navigasi dari kedua negara dapat melaksanakan tugas mereka
secara signifikan tanpa ada gangguan di wilayah Selat Singapura.
Perjanjian
ini akan menentukan dasar hukum bagi petugas berwenang kedua negara dalam
menjaga keamanan, keselamatan navigasi, penegakan hukum dan pengamanan atas
zona maritim berdasarkan hukum yang berlaku. Indonesia dan Singapura masih
harus menyelesaikan masalah perbatasan mereka di wilayah timur antara Batam dan
Changi dan lokasi diantara Bintan serta South Ledge, Middle Rock dan Batu
Puteh. Penyelesaian batas wilayah timur ini masih menunggu negosiasi antara
Singapura dan Malaysia yang masih harus dilakukan usai Pengadilan Internasional
memerintahkan Singapura dan Malaysia untuk melakukan perundingan pada 2008
lalu.
Masalah
yang sering terjadi :
Penambangan
pasir laut di perairan sekitar Kepulauan Riau yakni wilayah yang berbatasan
langsung dengan Sinagpura, telah berlangsung sejak tahun 1970. Kegiatan tersebut
telah mengeruk jutaan ton pasir setiap hari dan mengakibatkan kerusakan
ekosistem pesisir pantai yang cukup parah. Selain itu mata pencaharian nelayan
yang semula menyandarkan hidupnya di laut, terganggu oleh akibat penambangan
pasir laut. Kerusakan ekosistem yang diakibatkan oleh penambangan pasir laut
telah menghilangkan sejumlah mata pencaharian para nelayan.
Penambangan
pasir laut juga mengancam keberadaan sejumlah pulau kecil karena dapat
menenggelamkannya, misalnya kasus Pulau Nipah. Tenggelamnya pulau-pulau kecil
tersebut menimbulkan kerugian besar bagi Indonesia, karena dengan perubahan
pada kondisi geografis pantai akan berdampak pada penentuan batas maritim
dengan Singapura di kemudian hari.
3. Indonesia-Filipina
Proses
perundingan batas maritim RI – Filipina yang dilakukan sampai dengan tahun 2007
telah mencapai kemajuan yang signifikan dengan dihasilkannya kesepakatan atas
garis batas diantara kedua Tim Teknis Perunding. Saat ini proses perundingan
masih tertunda karena persoalan internal di pihak Filipina, yaitu
dikeluarkannya Republic Act No. 9522 bulan Maret 2009, yang berisikan perubahan
dari penetapan titik-titik dasar garis pangkal (baseline) negara kepulauan
Filipina, yang sebelumnya ditetapkan dalam Republic Act No. 3046 tahun 1961 dan
Republic Act No. 5446 tahun 1968. Pada kesempatan pertemuan bilateral tingkat
kepala negara antara RI-Filipina yang diselenggarakan pada tanggal 8 Maret
2011, Menteri Luar Negeri kedua negara telah menandatangani Joint Declaration
between the Republic of Indonesia and the Republic of the Philippines
concerning Maritime Boundary Delimitation, yang intinya:
-
Mempercepat proses penyelesaikan penetapan batas maritim RI-Filipina
sesuai dengan ketentuan UNCLOS 1982;
-
Menginstruksikan Tim Teknis Bersama Penetapan Batas Maritim antara Republik
Indonesia dan Republik Filipina untuk bertemu dalam waktu yang secepat mungkin
Masalah yang sering terjadi :
Belum
adanya kesepakatan tentang batas maritim antara Indonesia dengan Filipina di
perairan utara dan selatan Pulau Miangas, menjadi salah satu isu yang harus
dicermati. Forum RI-Filipina yakni Joint Border Committee (JBC) dan Joint
Commission for Bilateral Cooperation (JCBC) yang memiliki agenda sidang secara
berkala, dapat dioptimalkan menjembatani permasalahan perbatasan kedua negara
secara bilateral.
4. Indonesia-Thailand
Batas
Landas Kontinen telah diselesaikan. penetapan garis batas landas kontinen kedua
negara terletak di Selat Malaka dan laut Andaman. Perjanjian ini ditandatangai
tanggal 17 Desember 1971, dan berlaku mulai 7 April 1972. Sedangkan untuk batas
ZEE masih dirundingkan. Pertemuan penjajagan awal telah dilaksanakan
tanggal 25 Agustus 2010 di Bangkok. Thailand masih memerlukan konsultasi
dengan parlemen untuk berunding.
Masalah yang sering terjadi :
Ditinjau
dari segi geografis, kemungkinan timbulnya masalah perbatasan antara RI dengan
Thailand tidak begitu kompleks, karena jarak antara ujung pulau Sumatera dengan
Thailand cukup jauh, RI-Thailand sudah memiliki perjanjian Landas Kontinen yang
terletak di dua titik koordinat tertentu di kawasan perairan Selat Malaka
bagian utara dan Laut Andaman. Penangkapan ikan oleh nelayan Thailand yang
mencapai wilayah perairan Indonesia, merupakan masalah keamanan di laut. Di
samping itu, penangkapan ikan oleh nelayan asing merupakan masalah
sosio-ekonomi karena keberadaan masyarakat pantai Indonesia.
5. Indonesia-Vietnam
Indonesia
dan Viet Nam telah menyelesaikan perjanjian batas Landas Kontinen pada tahun
2003. Batas landas kontinen antara Indonesia – Vietnam ditarik dari pulau besar
ke pulau besar (main land to main land). Dalam perjanjian tersebut Indonesia
berhasil meyakinkan Vietnam untuk menggunakan dasar Konvensi Laut UNCLOS 1982.
Dengan demikian prinsip Indonesia sebagai negara Kepulauan telah terakomodasi.
Permasalahan batas maritim antara Indonesia dan Viet Nam yang masih harus
dirundingkan adalah penetapan garis batas ZEE. Pertemuan pertama untuk membahas
garis batas ZEE telah dilangsungkan pada bulan Mei 2010 di Hanoi dan telah
dilanjutkan pada pertemuan terakhir bulan Juli 2011 di Hanoi. Kedua negara kini
tengah menjajaki untuk mempelajari proposal garis batas ZEE masing-masing.
Masalah yang sering terjadi :
Wilayah
perbatasan antara Pulau Sekatung di Kepulauan Natuna dan Pulau Condore di
Vietnam yang berjarak tidak lebih dari 245 mil, memiliki kontur landas kontinen
tanpa batas benua, masih menimbulkan perbedaan pemahaman di antara ke dua
negara. Pada saat ini kedua belah pihak sedang melanjutkan perundingan guna
menentukan batas landas kontinen di kawasan tersebut.
6. Indonesia-Australia
Perairan
antara Indonesia dengan Australia meliputi wilayah yang sangat luas,
terbentang lebih kurang 2.100 mil laut dari selat Torres sampai perairan
P.Chrismas. Perjanjian perbatasan maritim antara Indonesia dengan Australia
yang telah ditentukan dan disepakati, menjadi sesuatu yang menarik untuk dipelajari
perkembangannya, karena perjanjian tersebut dilaksanakan baik sebelum
berlakunya UNCLOS ’82 (menggunakan Konvensi Genewa 1958) maupun sesudahnya.
Perjanjian yang telah ditetapkan juga menarik karena adanya negara Timor Leste
yang telah merdeka sehingga ada perjanjian (Timor Gap Treaty) yang menjadi
batal dan batas-batas laut yang ada harus dirundingkan kembali secara
trilateral antara RI – Timor Leste – Australia.
Secara
Garis besar perjanjian batas maritim Indonesia – Australia dibagi menjadi 3
(tiga) bagian, yaitu :
· Perjanjian
perbatasan pada tanggal 18 Mei 1971 mengenai Batas Landas Kontinen di wilayah
perairan selatan Papua dan Laut Arafura.
· Perjanjian
perbatasan pada tanggal 9 Oktober 1972 mengenai Batas Landas Kontinen di
wilayah Laut Timor dan Laut Arafura.
· Perjanjian
perbatasan maritim pada tanggal 14 Maret 1997 yang meliputi ZEE dan Batas
Landas Kontinen Indonesia Australia dari perairan selatan P.Jawa termasuk
perbatasan maritim di P.Ashmore dan P.Chrismas.
Pada
tanggal 9 September 1989 telah disetujui pembagian Timor Gap yang dibagi
menjadi 3 area (A,B dan C) dalam suatu Zone yang disebut ”Zone Of Cooperation”.
Perjanjian Timor Gab ini berlaku efektif mulai tanggal 9 Februari 1991,
perjanjian ini juga tidak membatalkan perjanjian yang sudah ada sebelumnya,
namun dengan merdekanya Timor Leste maka perjanjian ini secara otomatis menjadi
batal.
Masalah yang sering terjadi :
Perjanjian
perbatasan RI-Australia yang meliputi perjanjian batas landas kontinen dan
batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) mengacu pada Perjanjian RI-Australia yang
ditandatangani pada tanggal 14 Maret 1997. Penentuan batas yang baru
RI-Australia, di sekitar wilayah Celah Timor perlu dibicarakan secara trilateral
bersama Timor Leste.
7. Indonesia-India
Garis
Batas Landas Kontinen Indonesia dan India adalah garis lurus yang ditarik dari
titik pertemuan menuju arah barat daya yang berada di Laut Andaman. Hal itu
berdasarkan persetujuan pada 14 Januari 1977 di New Delhi, tentang perjanjian
garis batas Landas Kontinen kedua negara. Namun, pada beberapa wilayah batas
laut kedua negara masih belum ada kesepakatan.
Masalah yang sering terjadi :
Perbatasan
kedua negara terletak antara pulau Rondo di Aceh dan pulau Nicobar di
India. Batas maritim dengan landas kontinen yang terletak pada titik-titik
koordinat tertentu di kawasan perairan Samudera Hindia dan Laut Andaman, sudah
disepakati oleh kedua negara. Namun permasalahan di antara kedua negara masih
timbul karena sering terjadi pelanggaran wilayah oleh kedua belah pihak,
terutama yang dilakukan para nelayan.
8. Indonesia-Papua
Nugini
Batas
darat Indonesia dan Papua New Guinea didasarkan pada perjanjian Indonesia dan
Australia mengenai garis-garis batas Indonesia dan Papua Nugini.Ditandatangani
pada Tanggal 12 Februari 1973 di Jakarta. Pemerintah selanjutnya
meratifikasi perjanjian tersebut dengan membentuk Undang-undang Nomor 6 tahun
1973. Namun sampai saat ini perjanjian bilateral tersebut belum menjadi
landasan legal bagi survey dan demarkasi batas darat antara kedua negara.
Sebagai bagian dari perjanjian bilateral 1973, telah didirikan 14 pilar MM di
sepanjang perbatasan Indonesia dan Papua Nugini. Titik-titik tersebut ada di
141° Bujur Timur, mulai dari pilar MM1 sampai dengan MM10. Selanjutnya mulai
dari pilar MM11 sampai dengan pilar MM14 berada pada meridian 141° 01’
10". Pilar MM10 dan MM11 batas kedua negara mengikuti Thalweg dari sungai
Fly. Selain ke 14 pilar MM, antara tahun 1983- 1991, sesuai amanat Pasal 9
Perjanjian 1973 antara Indonesia dengan Papua Nugini, telah didirikan 38 Pilar
MM baru. Sehingga sampai saat ini telah berdiri 52 pilar MM di sepanjang garis
perbatasan. Penambahan 38 pilar MM baru tersebut saat ini masih tertuang dalam
Deklarasi Bersama (Joint declaration) yang ditandatangani oleh otoritas survey
and mapping kedua pemerintahan.
Masalah yang sering terjadi :
Indonesia
dan PNG telah menyepakati batas-batas wilayah darat dan maritim. Meskipun
demikian, ada beberapa kendala kultur yang dapat menyebabkan timbulnya salah
pengertian. Persamaan budaya dan ikatan kekeluargaan antar penduduk yang
terdapat di kedua sisi perbatasan, menyebabkan klaim terhadap hak-hak
tradisional dapat berkembang menjadi masalah kompleks di kemudian hari.
9. Indonesia-Timor
Leste
Berdirinya
negara Timor Leste sebagai negara merdeka, menyebabkan terbentuknya perbatasan
baru antara Indonesia dengan negara tersebut. Perundingan penentuan batas darat
dan laut antara RI dan Timor Leste telah dilakukan dan masih berlangsung sampai
sekarang.
First
Meeting Joint Border Committee Indonesia-Timor Leste dilaksanakan pada
18-19 Desember 2002 di Jakarta. Pada tahap ini disepakati penentuan batas darat
berupa deliniasi dan demarkasi, yang dilanjutkan dengan perundingan penentuan
batas maritim. Kemudian perundingan Joint Border Committee kedua
diselenggarakan di Dilli, pada Juli 2003.
Masalah yang sering terjadi :
Saat
ini sejumlah masyarakat Timor Leste yang berada diperbatasan masih menggunakan
mata uang rupiah, bahasa Indonesia, serta berinteraksi secara
sosial dan budaya dengan masyarakat Indonesia. Persamaan budaya dan
ikatan kekeluargaan antarwarga desa yang terdapat di kedua sisi
perbatasan, dapat menyebabkan klaim terhadap hak-hak tradisional,
dapat berkembang menjadi masalah yang lebih kompleks. Disamping
itu, keberadaan pengungsi Timor Leste yang masih berada di wilayah
Indonesia dalam jumlah yang cukup besar potensial menjadi permasalahan
perbatasan di kemudian hari.
10. Indonesia-Republik
Palau
Republik
Palau berada di sebelah Timur Laut Indonesia. Secara geografis negara itu
terletak di 060. 51” LU dan 1350.50” BT. Mereka adalah negara kepulauan dengan
luas daratan ± 500 km2.
Berdasarkan
konstitusi 1979, Republik Palau memiliki yuridiksi dan kedaulatan pada perairan
pedalaman dan Laut Teritorial-nya hingga 200 mil laut. Diukur dari garis
pangkal lurus kepulauan yang mengelilingi kepulauan.
Masalah yang sering terjadi :
Palau
memiliki Zona Perikanan yang diperluas (Extended Fishery Zone) hingga
berbatasan dengan Zona Perikanan Eksklusif, yang lebarnya 200 mil laut diukur
dari garis pangkal. Hal itu menyebabkan tumpang tindih antara ZEE Indonesia
dengan Zona Perikanan yang diperluas Republik Palau. Sehingga, perlu dilakukan
perundingan antara kedua negara agar terjadi kesepakatan mengenai garis batas
ZEE.