Perjanjian Batas Wilayah Negara

Category :



PULAU TERDEPAN INDONESIA YANG BERBATASAN DENGAN NEGARA TETANGGA dan BERIKUT DENGAN PERJANJIAN BATAS WILAYAH NEGARA
1. Pulau Rondo Kelurahan Ujung Ba’u, Kecamatan Sukakarya, Kabupaten Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam (di peta pulau nomor 84).
berada di ujung utara Pulau Weh, merupakan pulau terluar strategis di ujung barat Indonesia yang menjadi jalur pelayaran internasional, berbatasan dengan India, tidak dihuni tetap dan hanya dihuni oleh petugas jaga mercusuar. Kekayaan alam berupa perikanan dan terumbu karang, rawan akan pencurian ikan (illegal fishing).
2. Pulau Sekatung, Desa Air Payang, Kelurahan Pulau Laut, Kecamatan Bunguran Barat, Kabupaten Natuna, Provinsi Riau (di peta pulau nomor 10).
Terletak di utara Kepulauan Natuna, masuk Provinsi Kepulauan Riau yang berbatasan langsung dengan Vietnam, termasuk gugusan Pulau Natuna selain Pulau Sedanau, Bunguran, dan Midai, luasnya sekitar 0,3 kilometer persegi. Tidak berpenghuni, sering digunakan sebagai persinggahan nelayan lokal dan asing, potensi berupa perikanan dan terumbu karang, rawan illegal fishing.
3. Pulau Nipa, Desa Pemping, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam, Provinsi Riau (di peta pulau nomor 89).
Pulau kecil tak berpenghuni yang berbatasan dengan Singapura, 80 persen merupakan batuan karang mati dan 20 persen batuan berpasir. Luas dataran lonjong ini sekitar 60 hektar, di sekitar pulau ini dijadikan penambangan pasir. Akibatnya, terjadi abrasi yang mengancam tenggelamnya pulau di tengah pelayaran lalu lintas internasional yang frekuensinya tinggi.
4. Pulau Berhala, Kecamatan Tanjungbintang, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara (di peta pulau nomor 85).
Berada di Selat Malaka yang berbatasan dengan Malaysia, tak berpenghuni, luas sekitar 2,5 kilometer persegi dan dikelilingi hamparan terumbu karang. Memiliki kekayaan alam berupa keindahan terumbu karang bawah laut dan hutan tropis dengan keanekaragaman hayati tinggi, rawan illegal fishing dan effective occupation dari negara tetangga.
5. Pulau Marore, Kecamatan Tabukan, Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara (di peta pulau nomor 26).
Salah satu pulau kecil di Laut Sulawesi dan berbatasan dengan Filipina. Berada di kepulauan berpenduduk sekitar 640 jiwa, luas sekitar 214,49 ha, termasuk gugusan Pulau Kawio, merupakan wilayah khusus di perbatasan Filipina yang disebut check point border crossing area, rawan illegal fishing.
6. Pulau Miangas, Desa Miangas, Kecamatan Nanusa, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara (di peta pulau nomor 28).
Salah satu gugusan Kepulauan Nanusa yang berbatasan langsung dengan Filipina, luas sekitar 3,15 kilometer persegi. Jarak Pulau Miangas dengan Kecamatan Nanusa sekitar 145 mil, sedangkan jarak ke Filipina hanya 48 mil. Ada penduduknya yang mayoritas Suku Talaud, perkawinan dengan warga Filipina tidak bisa dihindarkan lagi. Dilaporkan mata uang yang mereka gunakan adalah peso, jumlah penduduk tahun 2003 sebanyak 678 jiwa, sudah ada listrik dari PLTD 10 KVA. Belanda menguasai pulau ini sejak tahun 1677, sejauh ini Filipina yang sejak tahun 1891 memasukkan Miangas dalam wilayahnya sudah menerima Pulau Miangas sebagai wilayah Indonesia berdasarkan keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional. Rawan terorisme dan penyelundupan.
7. Pulau Marampit, Kecamatan Pulau Karatung, Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara (di peta pulau nomor 29).
Salah satu pulau di Laut Sulawesi yang berbatasan dengan Filipina, berpenghuni dengan jumlah penduduk sekitar 1.436 jiwa, luas pulau 12 kilometer persegi, pulau terluar yang dibatasi Samudra Pasifik di sebelah utara dan timur. Sarana navigasi pelayaran dan dermaga hingga kini belum terpasang, rawan abrasi karena berhadapan dengan laut lepas, rawan illegal fishing dan effective occupation dari negara tetangga.
8. Pulau Batek, Desa Netemnanu Utara, Kecamatan Amfoang Utara, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (di peta pulau nomor 61).
Merupakan pulau terluar yang berbatasan langsung dengan Timor Leste, berada di perbatasan antara wilayah Kabupaten Kupang, NTT, dan Oekusi, Timor Leste, luas sekitar 25 ha. Menjadi tempat bertelur penyu-penyu serta lokasi migrasi lumba-lumba. Untuk mencapainya cukup mudah karena perairan di sebelah utaranya merupakan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) jalur 3 yang menjadi jalur pelayaran internasional, rawan illegal fishing dan effective occupation dari negara tetangga.
9. Pulau Dana, Kecamatan Rote Barat Daya, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (di peta pulau nomor 62).
Terletak di sebelah selatan Pulau Rote yang merupakan pulau terluar berbatasan dengan Australia. Letaknya strategis karena menjadi pintu masuk jalur pelayaran internasional (ALKI jalur 3), tidak berpenghuni, jarak dengan Kota Kupang 120 kilometer dan dengan Pulau Rote 4 kilometer. Untuk mencapainya bisa ditempuh dengan perahu motor, rawan illegal fishing dan effective occupation dari negara tetangga.
10. Pulau Fani, Kecamatan Ayau, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua (di peta pulau nomor 34).
Pulau terluar yang berbatasan dengan Republik Palau, termasuk gugusan Pulau-pulau Asia. Ada penghuninya, luas wilayah sekitar sembilan kilometer persegi. Jarak ke Kota Sorong 220 kilometer dan dapat dicapai dengan kapal motor selama 35 jam. Penduduknya lebih sering berinteraksi dengan negara tetangga, rawan illegal fishing dan effective occupation dari negara tetangga.
11. Pulau Fanildo, Kecamatan Supiori Utara, Kabupaten Biak Numfor, Papua (di peta pulau nomor 36).
Salah satu gugusan Pulau Mapia, pulau tak berpenghuni yang berbatasan dengan Republik Palau, luas sekitar 0,1 kilometer persegi yang sekelilingnya merupakan pantai berpasir dan hamparan terumbu karang. Jarak dengan ibu kota Biak Numfor 280 kilometer. Untuk mencapai pulau ini bisa dengan menggunakan pesawat udara dan kapal laut rute Jakarta-Biak-Mapia, rawan illegal fishing dan effective occupation dari negara tetangga.
12. Pulau Bras, Kecamatan Supiori Utara, Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua (di peta pulau nomor 37).
Terletak di ujung utara Pulau-pulau Mapia, berbatasan dengan Republik Palau, luasnya 3,375 kilometer persegi, jarak Pulau Bras dengan Kabupaten Biak Numfor 280 kilometer dan dengan Pulau Supiori 240 kilometer yang dapat dicapai dengan perahu motor. Dihuni sekitar 50 jiwa penduduk, potensial untuk wisata terumbu karang, mata pencaharian nelayan dan membuat kopra, rawan abrasi dan rawan illegal fishing serta effective occupation dari negara tetangga. (AMR)

PERJANJIAN ANTARA NEGARA
1.      Indonesia-Malaysia
Kedua belah pihak bersepakat (kecuali Sipadan dan Ligitan diberlakukan sebagai keadaan status quo). Pada tanggal 27 Oktober 1969 dilakukan penandatanganan perjanjian antara Indonesia dan Malaysia, yang disebut sebagai Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia – Malaysia kedua negara masing-masing melakukan ratifikasi pada 7 November 1969, tak lama berselang masih pada tahun 1969 Malaysia membuat peta baru yang memasukan pulau Sipadan, Ligitan dan Batu Puteh (Pedra blanca) tentunya hal tersebut membingungkan Indonesia dan Singapura dan pada akhirnya Indonesia maupun Singapura tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut.
Kemudian pada tanggal 17 Maret 1970 kembali ditanda tangani Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia. Akan tetapi pada tahun 1979 pihak Malaysia membuat peta baru mengenai tapal batas kontinental dan maritime yang secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya yaitu dengan memajukan koordinat 4° 10' arah utara melewati Pulau Sebatik. Indonesia memprotes dan menyatakan tidak mengakui klaim itu, merujuk pada Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia tahun 1969 dan Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia tahun 1970.
Indonesia melihatnya sebagai usaha secara terus-menerus dari pihak Malaysia untuk melakukan ekspansi terhadap wilayah Indonesia. Kasus ini meningkat profilnya setelah Pulau Sipadan dan Ligitan, juga berada di blok Ambalat, dinyatakan sebagai bagian dari Malaysia oleh Mahkamah Internasional.
Batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia ditarik dari dekat Singapura dan berakhir di dekat Pulau Batu Mandi di Selat Malaka. Artinya tidak ada batas perairan yang berupa batas laut wilayah antara Malaysia dan Indonesia setelah Pulau Batu Mandi ke arah Barat Laut di Selat Malaka. Yang ada hanyalah batas landas kontinen yang ditetapkan pada tahun 1969. Batas landas kontinen, sesuai dengan hukum laut internasional, merupakan batas yang memisahkan dasar laut dua atau lebih negara. Batas landas kontinen tersebut tidak mengatur batas tubuh air. Sehingga secara umum, batas landas kontinen ini berlaku dalam hal pengelolaan lapisan di bawah laut (dasar laut) yang biasanya digunakan untuk pertambangan lepas pantai (off shore).
Masalah yang sering terjadi :
Penentuan batas maritim Indonesia-Malaysia di beberapa bagian wilayah perairan Selat Malaka masih belum disepakati ke dua negara. Ketidakjelasan batas maritim tersebut sering menimbulkan friksi di lapangan antara petugas lapangan dan nelayan Indonesia dengan pihak Malaysia.
Demikian pula dengan perbatasan darat di Kalimantan, beberapa titik batas belum tuntas disepakati oleh kedua belah pihak. Permasalahan lain antar kedua negara adalah masalah pelintas batas, penebangan kayu ilegal, dan penyelundupan. Forum General Border Committee (GBC) dan Joint Indonesia Malaysia Boundary Committee (JIMBC), merupakan badan formal bilateral dalam menyelesaikan masalah perbatasan kedua negara yang dapat dioptimalkan.

2.      Indonesia-Singapura
Batas wilayah laut antara Indonesia dan Singapura ditentukan atas dasar hukum internasional. Perjanjian ini didasari atas Konvensi PBB Tentang batas wilayah laut (The United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) pada 1982. Kedua negara juga turut meratifikasi UNCLOS. Ratifikasi dari batas wilayah laut yang disetujui ini merupakan kelanjutan dari perjanjian batas wilayah laut yang sebelumnya telah disetujui oleh kedua negara sebelumnya pada 25 Mei 1973. Sementara perjanjian terbaru yang diratifikasi, mempertegas batas wilayah laut dari Pulau Nipa hingga Pulau Karimun Besar. Sedangkan pada sebelah barat, pihak keamanan dan petugas navigasi dari kedua negara dapat melaksanakan tugas mereka secara signifikan tanpa ada gangguan di wilayah Selat Singapura. 
Perjanjian ini akan menentukan dasar hukum bagi petugas berwenang kedua negara dalam menjaga keamanan, keselamatan navigasi, penegakan hukum dan pengamanan atas zona maritim berdasarkan hukum yang berlaku. Indonesia dan Singapura masih harus menyelesaikan masalah perbatasan mereka di wilayah timur antara Batam dan Changi dan lokasi diantara Bintan serta South Ledge, Middle Rock dan Batu Puteh. Penyelesaian batas wilayah timur ini masih menunggu negosiasi antara Singapura dan Malaysia yang masih harus dilakukan usai Pengadilan Internasional memerintahkan Singapura dan Malaysia untuk melakukan perundingan pada 2008 lalu.

            Masalah yang sering terjadi :
Penambangan pasir laut di perairan sekitar Kepulauan Riau yakni wilayah yang berbatasan langsung dengan Sinagpura, telah berlangsung sejak tahun 1970. Kegiatan tersebut telah mengeruk jutaan ton pasir setiap hari dan mengakibatkan kerusakan ekosistem pesisir pantai yang cukup parah. Selain itu mata pencaharian nelayan yang semula menyandarkan hidupnya di laut, terganggu oleh akibat penambangan pasir laut. Kerusakan ekosistem yang diakibatkan oleh penambangan pasir laut telah menghilangkan sejumlah mata pencaharian para nelayan.
Penambangan pasir laut juga mengancam keberadaan sejumlah pulau kecil karena dapat menenggelamkannya, misalnya kasus Pulau Nipah. Tenggelamnya pulau-pulau kecil tersebut menimbulkan kerugian besar bagi Indonesia, karena dengan perubahan pada kondisi geografis pantai akan berdampak pada penentuan batas maritim dengan Singapura di kemudian hari.

3.      Indonesia-Filipina
Proses perundingan batas maritim RI – Filipina yang dilakukan sampai dengan tahun 2007 telah mencapai kemajuan yang signifikan dengan dihasilkannya kesepakatan atas garis batas diantara kedua Tim Teknis Perunding. Saat ini proses perundingan masih tertunda karena persoalan internal di pihak Filipina, yaitu dikeluarkannya Republic Act No. 9522 bulan Maret 2009, yang berisikan perubahan dari penetapan titik-titik dasar garis pangkal (baseline) negara kepulauan Filipina, yang sebelumnya ditetapkan dalam Republic Act No. 3046 tahun 1961 dan Republic Act No. 5446 tahun 1968. Pada kesempatan pertemuan bilateral tingkat kepala negara antara RI-Filipina yang diselenggarakan pada tanggal 8 Maret 2011, Menteri Luar Negeri kedua negara telah menandatangani Joint Declaration between the Republic of Indonesia and the Republic of the Philippines concerning Maritime Boundary Delimitation, yang intinya:

- Mempercepat proses penyelesaikan penetapan batas  maritim RI-Filipina sesuai dengan ketentuan UNCLOS 1982; 
- Menginstruksikan Tim Teknis Bersama Penetapan Batas Maritim antara Republik Indonesia dan Republik Filipina untuk bertemu dalam waktu yang secepat mungkin
Masalah yang sering terjadi :
Belum adanya kesepakatan tentang batas maritim antara Indonesia dengan Filipina di perairan utara dan selatan Pulau Miangas, menjadi salah satu isu yang harus dicermati. Forum RI-Filipina yakni Joint Border Committee (JBC) dan Joint Commission for Bilateral Cooperation (JCBC) yang memiliki agenda sidang secara berkala, dapat dioptimalkan menjembatani permasalahan perbatasan kedua negara secara bilateral.


4.      Indonesia-Thailand
Batas Landas Kontinen telah diselesaikan. penetapan garis batas landas kontinen kedua negara terletak di Selat Malaka dan laut Andaman. Perjanjian ini ditandatangai tanggal 17 Desember 1971, dan berlaku mulai 7 April 1972. Sedangkan untuk batas ZEE masih dirundingkan. Pertemuan penjajagan awal telah dilaksanakan tanggal  25 Agustus 2010 di Bangkok. Thailand masih memerlukan konsultasi dengan parlemen untuk berunding. 
Masalah yang sering terjadi :
Ditinjau dari segi geografis, kemungkinan timbulnya masalah perbatasan antara RI dengan Thailand tidak begitu kompleks, karena jarak antara ujung pulau Sumatera dengan Thailand cukup jauh, RI-Thailand sudah memiliki perjanjian Landas Kontinen yang terletak di dua titik koordinat tertentu di kawasan perairan Selat Malaka bagian utara dan Laut Andaman. Penangkapan ikan oleh nelayan Thailand yang mencapai wilayah perairan Indonesia, merupakan masalah keamanan di laut. Di samping itu, penangkapan ikan oleh nelayan asing merupakan masalah sosio-ekonomi karena keberadaan masyarakat pantai Indonesia.
5.      Indonesia-Vietnam
Indonesia dan Viet Nam telah menyelesaikan perjanjian batas Landas Kontinen pada tahun 2003. Batas landas kontinen antara Indonesia – Vietnam ditarik dari pulau besar ke pulau besar (main land to main land). Dalam perjanjian tersebut Indonesia berhasil meyakinkan Vietnam untuk menggunakan dasar Konvensi Laut UNCLOS 1982. Dengan demikian prinsip Indonesia sebagai negara Kepulauan telah terakomodasi. Permasalahan batas maritim antara Indonesia dan Viet Nam yang masih harus dirundingkan adalah penetapan garis batas ZEE. Pertemuan pertama untuk membahas garis batas ZEE telah dilangsungkan pada bulan Mei 2010 di Hanoi dan telah dilanjutkan pada pertemuan terakhir bulan Juli 2011 di Hanoi. Kedua negara kini tengah menjajaki untuk mempelajari proposal garis batas ZEE masing-masing.
Masalah yang sering terjadi :
Wilayah perbatasan antara Pulau Sekatung di Kepulauan Natuna dan Pulau Condore di Vietnam yang berjarak tidak lebih dari 245 mil, memiliki kontur landas kontinen tanpa batas benua, masih menimbulkan perbedaan pemahaman di antara ke dua negara. Pada saat ini kedua belah pihak sedang melanjutkan perundingan guna menentukan batas landas kontinen di kawasan tersebut.
6.      Indonesia-Australia
Perairan antara Indonesia dengan Australia meliputi wilayah  yang sangat luas, terbentang lebih kurang 2.100 mil laut dari selat Torres sampai perairan P.Chrismas. Perjanjian perbatasan maritim antara Indonesia dengan Australia yang telah ditentukan dan disepakati, menjadi sesuatu yang menarik untuk dipelajari perkembangannya, karena perjanjian tersebut dilaksanakan baik sebelum berlakunya UNCLOS ’82 (menggunakan Konvensi Genewa 1958) maupun sesudahnya. Perjanjian yang telah ditetapkan juga menarik karena adanya negara Timor Leste yang telah merdeka sehingga ada perjanjian (Timor Gap Treaty) yang menjadi batal dan batas-batas laut yang ada harus dirundingkan kembali secara trilateral antara RI – Timor Leste – Australia.

Secara Garis besar perjanjian batas maritim Indonesia – Australia dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu :

·   Perjanjian  perbatasan pada tanggal 18 Mei 1971 mengenai Batas Landas Kontinen di wilayah perairan selatan Papua dan Laut Arafura.
·   Perjanjian perbatasan pada tanggal  9 Oktober 1972 mengenai Batas Landas Kontinen di wilayah Laut Timor dan Laut Arafura.
·   Perjanjian perbatasan maritim pada tanggal 14 Maret 1997 yang meliputi ZEE dan Batas Landas Kontinen Indonesia Australia dari perairan selatan P.Jawa termasuk perbatasan maritim di P.Ashmore dan P.Chrismas.
Pada tanggal 9 September 1989 telah disetujui pembagian Timor Gap yang dibagi menjadi 3 area (A,B dan C) dalam suatu Zone yang disebut ”Zone Of Cooperation”. Perjanjian Timor Gab ini berlaku efektif mulai tanggal 9 Februari 1991, perjanjian ini juga tidak membatalkan perjanjian yang sudah ada sebelumnya, namun dengan merdekanya Timor Leste maka perjanjian ini secara otomatis menjadi batal.

Masalah yang sering terjadi :
Perjanjian perbatasan RI-Australia yang meliputi perjanjian batas landas kontinen dan batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) mengacu pada Perjanjian RI-Australia yang ditandatangani pada tanggal 14 Maret 1997. Penentuan batas yang baru RI-Australia, di sekitar wilayah Celah Timor perlu dibicarakan secara trilateral bersama Timor Leste.


7.      Indonesia-India
Garis Batas Landas Kontinen Indonesia dan India adalah garis lurus yang ditarik dari titik pertemuan menuju arah barat daya yang berada di Laut Andaman. Hal itu berdasarkan persetujuan pada 14 Januari 1977 di New Delhi, tentang perjanjian garis batas Landas Kontinen kedua negara. Namun, pada beberapa wilayah batas laut kedua negara masih belum ada kesepakatan.

Masalah yang sering terjadi :
Perbatasan kedua negara terletak antara pulau Rondo di Aceh dan pulau  Nicobar di India. Batas maritim dengan landas kontinen yang terletak pada titik-titik koordinat tertentu di kawasan perairan Samudera Hindia dan Laut Andaman, sudah disepakati oleh kedua negara. Namun permasalahan di antara kedua negara masih timbul karena sering terjadi pelanggaran wilayah oleh kedua belah pihak, terutama yang dilakukan para nelayan.

8.      Indonesia-Papua Nugini
Batas darat Indonesia dan Papua New Guinea didasarkan pada perjanjian Indonesia dan Australia mengenai garis-garis batas Indonesia dan Papua Nugini.Ditandatangani pada Tanggal 12 Februari 1973 di Jakarta. Pemerintah selanjutnya meratifikasi perjanjian tersebut dengan membentuk Undang-undang Nomor 6 tahun 1973. Namun sampai saat ini perjanjian bilateral tersebut belum menjadi landasan legal bagi survey dan demarkasi batas darat antara kedua negara. Sebagai bagian dari perjanjian bilateral 1973, telah didirikan 14 pilar MM di sepanjang perbatasan Indonesia dan Papua Nugini. Titik-titik tersebut ada di 141° Bujur Timur, mulai dari pilar MM1 sampai dengan MM10. Selanjutnya mulai dari pilar MM11 sampai dengan pilar MM14 berada pada meridian 141° 01’ 10". Pilar MM10 dan MM11 batas kedua negara mengikuti Thalweg dari sungai Fly. Selain ke 14 pilar MM, antara tahun 1983- 1991, sesuai amanat Pasal 9 Perjanjian 1973 antara Indonesia dengan Papua Nugini, telah didirikan 38 Pilar MM baru. Sehingga sampai saat ini telah berdiri 52 pilar MM di sepanjang garis perbatasan. Penambahan 38 pilar MM baru tersebut saat ini masih tertuang dalam Deklarasi Bersama (Joint declaration) yang ditandatangani oleh otoritas survey and mapping kedua pemerintahan.
Masalah yang sering terjadi :
Indonesia dan PNG telah menyepakati batas-batas wilayah darat dan maritim. Meskipun demikian, ada beberapa kendala kultur yang dapat menyebabkan timbulnya salah pengertian. Persamaan budaya dan ikatan kekeluargaan antar penduduk yang terdapat di kedua sisi perbatasan, menyebabkan klaim terhadap hak-hak tradisional dapat berkembang menjadi masalah kompleks di kemudian hari.
9.      Indonesia-Timor Leste
Berdirinya negara Timor Leste sebagai negara merdeka, menyebabkan terbentuknya perbatasan baru antara Indonesia dengan negara tersebut. Perundingan penentuan batas darat dan laut antara RI dan Timor Leste telah dilakukan dan masih berlangsung sampai sekarang.
First Meeting Joint Border Committee Indonesia-Timor Leste dilaksanakan pada 18-19 Desember 2002 di Jakarta. Pada tahap ini disepakati penentuan batas darat berupa deliniasi dan demarkasi, yang dilanjutkan dengan perundingan penentuan batas maritim. Kemudian perundingan Joint Border Committee kedua diselenggarakan di Dilli, pada Juli 2003.

Masalah yang sering terjadi :
Saat ini sejumlah masyarakat Timor Leste yang berada diperbatasan masih menggunakan mata uang rupiah,  bahasa Indonesia,  serta berinteraksi secara  sosial dan budaya dengan masyarakat Indonesia.  Persamaan  budaya dan ikatan   kekeluargaan antarwarga desa yang terdapat di kedua sisi perbatasan,  dapat menyebabkan klaim terhadap hak-hak tradisional,  dapat berkembang menjadi masalah yang lebih kompleks.  Disamping itu,  keberadaan pengungsi Timor Leste yang masih berada di wilayah Indonesia dalam jumlah yang cukup besar potensial menjadi permasalahan  perbatasan di kemudian hari.

10.  Indonesia-Republik Palau
Republik Palau berada di sebelah Timur Laut Indonesia. Secara geografis negara itu terletak di 060. 51” LU dan 1350.50” BT. Mereka adalah negara kepulauan dengan luas daratan  ± 500 km2.
Berdasarkan konstitusi 1979, Republik Palau memiliki yuridiksi dan kedaulatan pada perairan pedalaman dan Laut Teritorial-nya hingga 200 mil laut. Diukur dari garis pangkal lurus kepulauan yang mengelilingi kepulauan.

Masalah yang sering terjadi :
Palau memiliki Zona Perikanan yang diperluas (Extended Fishery Zone) hingga berbatasan dengan Zona Perikanan Eksklusif, yang lebarnya 200 mil laut diukur dari garis pangkal. Hal itu menyebabkan tumpang tindih antara ZEE Indonesia dengan Zona Perikanan yang diperluas Republik Palau. Sehingga, perlu dilakukan perundingan antara kedua negara agar terjadi kesepakatan mengenai garis batas ZEE.